AFN V2

Tokoh

Kesaksian Ulama Terhadap Imam Hasan al Banna -rahimahullah

User Rating: / 17
PoorBest 

 

Sumber: http://myquran.org/



Bagi seorang yang baru memiliki kesedaran Islam, mereka akan kehairanan apabila terdapat para ulama yang boleh dipercayai mengkritik dan mencela ulama lain.

Maka, pemuda-pemuda yg bersemangat itu pun turut serta mencela ulama-ulama berkenaan; samada penulis atau ulama yang dikritik.

Antara tokoh yang mendapat kritikan sedemikian ialah tokoh yang amat berjasa dalam harakah Islam; Asy Syahid Imam Hasan Al Banna.

Bagi kita, kita muliakan semua ulama dan tokoh-tokoh Islam yang berjasa dan kita juga meyakini mereka tidak terkecuali daripada melakukan kesilapan.

Malah para ulama/mujahidin terdahulu telah membuktikan bahawa mereka berada di atas jalan jihad sampai mereka kembali kepada Allah S.W.T, sedangkan ulama-ulama yang masih hidup belum tentu lagi akhir hayat hidup mereka.

Kesaksian Ulama Terhadap Imam Hasan al Banna


1.Syaikh al Fadhil al 'Allamah Abdullah bin Abdurrahman al Jibrin -hafizhahulla

Ia adalah anggota Hai'ah Kibaril Ulama Arab Saudi yang tak diragukan kesalafiannya. Ada orang yang bertan kepada Syaikh, "Saya memohon kepal Anda, wahai Syaikh, maaf, sesungguhn ada sebagian pemuda yang membid'a bid'ahkan Sayyid Quthb dan mereka melarang membaca buku-buku karya belie Dan, mereka juga mengatakan hal ya sama tentang Hasan al Banna. Mereka pun mengatakan sebagian ulama sebagai khawarij. Hujjah mereka adalah penjelas kesalahan-kesalahan ulama tersebut kepada manusia. Padahal mereka sekarang masih menuntut ilmu. Saya memohon jawab dari Anda demi menghilangkan keraguan ini pada kami, sehingga hal ini tidak menimpa banyak orang."
Syaikh berkata -setelah menyebut beberapa dalil-, "Saya kataka sesungguhnya Sayyid Quthb dan Hasar Banna adalah termasuk ulama kaum muslimin dan tokoh da'wah Islam. Melalui da'wah mereka berdua, Allah telah memberi hidayah dan manfaat kepada ribuan manusia. Partisipasi da'wah mereka berdua tidak mungkin diingkari. Itu sebabnya Syaikh Abdul Aziz bin Baz mengajukan permohonan dengan nada lemah lembut kepada Presiden Mesir saat itu, Jamal Abdul Naser -semoga Allah membalas kejahatannya dengan balasan yang setimpal- agar menarik keputusan hukun gantung bagi Sayyid Quthb meski akhirnya permohonan itu ditolak

Setelah mereka berdua (Hasar Banna dan Sayyid Quthb) dibunuh keduanya selalu disandangkan dengan gelar Asy Syahid karena mereka dibunuh dalam keadaan terzalimi dan terania. Penyandangan gelar tersebut diakui seluruh lapisan masyarakat dan tersebar luas lewat media massa dan buku-buku tanpa protes dan penolakan. Buku mereka berdua diterima para ulama dan Allah Subhana. wa Ta'ala memberikan manfaat melalui da'wah mereka kepada hamba-hambaNya serta tidak ada seorang pun yang melemparkan tuduhan kepada mereka berdua selama lebih dari 20 tahun. Jika mereka berdua melakukan kesalahan, Imam Nawawi, Imam Suyuthi, Imam Ibnul Jauzy, Imam Ibnu 'Athiyah, Imam al Khathaby, Imam al Qasthalany, dan Imam lainnya pernah melakukan kesalahan." Sampai di sini dari Syaikh bin al Jibrin. (Al Ikhwan Al Muslimun Anugerah Allah Yang Terzalimi, hal. 218-219, edisi lengkap. Lihat pula, Siapa Teroris? Siapa Khawarij? Hal. 317- 319)


2.Kesaksian Syaikh Manna' Khalil al Qaththan -rahimahullah (w. 1999 M/ 1420H).

Ulama terkenal, pakar Tafsir dan Hadits. Mantan Ketua Mahkamah Tinggi di Riyadh dan dosen paska sarjana di Universitas Muhammad bin Su'ud, Saudi Arabia. Ia berkata, "Gerakan Ikhwanul Muslimin yang didirikan oleh Asy Syahid Hasan al Banna dipandang sebagai gerakan keislaman terbesar masa kini tanpa diragukan. Tidak seorang pun dari lawan- lawannya dapat mengingkari jasa gerakan ini dalam membangkitkan kesadaran di seluruh dunia Islam. Maka dengan gerakan ini ditumpahkan segala potensi pemuda Islam untuk berkhidmat kepada Islam, menjunjung syariatnya, meninggikan kalimahnya, membangun kejayaannya, dan mengembalikan kekuasaannya. Apa pun yang dikatakan mengenai peristiwa¬peristiwa yang terjadi atas jamaah ini namun pengaruh intelektualitasnya tidak dapat diingkari oleh siapa pun juga." (Istilah Asy Syahid asli dari Syaikh Manna' sendiri. Lihat Studi Ilmu-Ilmu Al Qur'an, hal. 506. Litera AntarNusa. Lihat juga Siapa Teroris? Siapa Khwarij?, hal. 316-317)


3. Kesaksian Mufti Besar Palestina Syaikh Hajj Muhammad Amin al Husaini -rahimahullah.

Ia berkata, "Sesungguhnya, sifat yang sangat menonjol pada diri AI Banna adalah Ikhlas yang mendalam, otak yang cemerlang, dan kemauan yang keras. Semua itu diperindah dengan kemauan yang kuat." (Badr Abdurrazzaq al Mash, Manhaj Da'wah Hasan al Banna, hal. 89). Ia juga berkata, "Asy Syahid Hasan al Banna dan para pengikutnya telah memberi sumbangan besar bagi Palestina. Mereka mempertahankannya dengan berjuang keras dan cita-cita mulia. Semuanya merupakan karya nyata dan kebanggaan yang ditulis dalam sejarah jihad dengan huruf yang terbuat dari cahaya." (Istilah Asy Syahid adalah asli dari Syaikh Amin al Husaini. Ibid, hal. 141-142)


4. Kesaksian mantan Mufti Mesir, Syaikh Hasanain Makhluf rahimahullah.

Ia berkata, "Syaikh Hasan al Banna semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala menempatkannya bersama para shalihin- adalah salah seorang tokoh Islam abad ini. Bahkan ia merupakan pelopor jihad di jalan Allah dengan jihad yang sesungguhnya. Beliau berdakwah dengan menempuh manhaj yang benar, meniti jalan yang terang yang diterjemahkannya dari Al Qur'an, Sunnah Nabi, dan ruh tasyri' Islam. Beliau melaksanakan semua itu dengan penuh hikmah, hati-hati, dan sabar, dan 'azzam yang kuat sehingga da'wah islam menyebar ke seluruh penjuru Mesir dan negeri-negeri Islam serta banyak orang bergabung di bawah bendera da'wahnya." (Ibid, hal. 91)


5. Kesaksian Da'i terkenal, alim rabbani, al 'Allamah Abul Hasan Ali al Hasani an Nadwi -rahimahullah.

Ia berkata dalam pengantar buku Mudzakkirat Da'wah wa Da'iyah-nya Hasan al Banna , "Pengarang buku ini termasuk di antara pribadi-pribadi yang kami katakan memang sengaja dipersiapkan qudrah ilahiyah (kekuasaan Allah), dibentuk tarbiyah rabbaniyah, kemudian dimunculkan pada waktu dan tempat yang ditentukan.

Setiap orang yang membaca buku ini dengan dada bersih, sikap obyektif, jauh dari sikap fanatik, dan keras kepala pasti yakin bahwa pengarangnya adalah seorang yang memang dipersiapkan untuk dihibahkan (bagi umat manusia) yang bukan hanya tiba dan muncul begitu saja. Ia bukan sekadar produk sebuah lingkungan atau sekolah; bukan sekadar produk sebuah upaya keras, dan bukan produk dari sebuah percobaan. Ia merupakan salah satu produk dari taufik dan hikmah ilahiyah yang menaruh perhatian besar terhadap agama dan umat ini." (Hasan al Banna, Memoar Hasan al Banna untuk Da'wah dan Para Da'inya, kata pengantar)

Sebenarnya masih banyak pujian ulama dunia untuknya. Hal itu, merupakan kebiasaan para ulama sejak dahulu; seorang ulama memberikan pujian (sekaligus kritik) terhadap ulama lainnya. Selain nama-nama di atas masih banyak tokoh yang memberikan kesaksian positif seperti Sayyid Quthb, Muhammad al Ghazaly, Muhammad al Hamid, Abu Zahrah, Musthafa al Maraghi. Mahmud Syaltut, Muhibuddin al Khathib, Yusuf al Qaradhawy, Said Ramadhan al Buthy, Said Hawwa, Abdus Salam Yasin, Bahi al Khuli, KH. Agus Salim, Muhammad Natsir, dan lain-lain. Hanya satu yang kami minta dari Ustadz Luqman bin Muhammad Ba'abduh hafizhahullah; tolong sodorkan satu nama saja dari jajaran ulama yang diakui dunia-(ingat! bukan diakui oleh kelompoknya saja)- pada masa Hasan al Banna masih hidup, baik yang berinteraksi dengannya atau tidak, yang memberikan tuduhan dan caracter asasination (pembunuhan karakter) terhadap dirinya; dengan menyebutnya sesat, khawarij, dan sejumlah istilah mengerikan yang biasa Anda gunakan itu. "Demikian itu (hanya) angan-angan mereka yang kosong belaka. Katakanlah: 'Tunjukanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar." (QS. Al Baqarah: 111)

Wallahu A'lam walillahil 'Izzah

Ibn ‘Asakir (w571H / 1176M)

User Rating: / 11
PoorBest 

Penulis: Mohd Fikri Che Hussain ( Ustaz Alamghiri )
Sumber: http://mohdfikri.com/blog

`Ali b. al-Hasan b. Hibat Allah b. `Abd Allah, Thiqat al-Din, Abu al-Qasim lebih dikenali dengan nama Ibn `Asakir al-Dimasyqi al-Syafi`i al-Asy`ari (w571/ 1176h) adalah seorang imam hadis dan tokoh sejarawan Islam yang terkenal di zamannya.

Mendengar hadis daripada 1,300 orang ulama dan 80 orang daripadanya adalah wanita dari kota Baghdad, Makkah, Madinah, Asfahan, Naisabur, Merw, Tibriz, Mihana, Baihaq, Khusrujird, Bistam, Herat, Azerbaijan, Kufah, Hamadhan, Rayy, Zanjan, Bushanj, Sarkhas, Simnan, Jarbadhqan, Mausil dan sebagainya.

Karyanya yang masyhur dan jarang dapat ditandingi oleh ulama sezaman dengannya pula seperti kitab:

i. Kitab Tarikh Dimasyq sebanyak 80 jilid
ii. Kitab Al-Muwafaqat `ala Shuyukh al-A’immah al-Tsiqat sebanyak 72 jilid
iii. Kitab `Awali Malik ibn Anas sebanyak 50 jilid
iv. Kitab Ghara’ib Malik setebal 10 jilid
v. Kitab Al-Mu`jam yang menyenaraikan nama-nama guru yang pernah mengajar beliau, sebanyak 12 jilid
vi. Kitab Manaqib al-Syubban sebanyak 15 jilid
vii. Kitab yang menerangkan kelebihan para sahabat Nabi SAW iaitu kitab Fadha’il Ashab al-Hadits 11 jilid

Antara kitabnya yang lain seperti
i. Kitab Fadhl al-Jumu`ah
ii. Kitab Fadhl Quraisy
iii. Kitab Fadha’il al-Siddiq
iv. Kitab Fadha’il Makkah
v. Kitab Fadha’il al-Madinah
vi. Kitab Fadha’il Bayt al-Muqaddas
vii. Kitab Fadha’il `Asyura’
viii. Kitab Fadha’il al-Muharram
ix. Kitab Fadha’il Syaaban

Kitabnya yang sejilid seperti:
i. Kitab Al-Isyraf `ala Ma`rifah al-Athraf
ii. Kitab Akhbar al-Awza`ie
iii. Kitab Al-Musalsalat
iv. Kitabnya yang bertajuk Al-Suba`iyyat mengandungi sebanyak 7 jilid
v. Kitabnya yang berjudul Tabyin Kazib al-Muftari Fima Nusiba ila Abi al-Hasan al-Asy`ari adalah kitab yang mempertahankan mazhab ilmu kalam imam Abu Hasan al-Asy`ari.

Tengoklah rakan-rakan, betapa seorang ilmuan Islam menghabiskan waktunya dalam mengusahakan kitab yang berjilid-jilid. Mana kesungguhan kita? Kita asyik menuding jari ke arah orang lain dari kesalahan kita. Malahan ada yang sanggup mencemuh ulama kerana kesilapan yang sedikit, sedangkan jasa dan sumbangan mereka yang melaut luas tidak kita hiraukan. Oleh itu, tutup mata dan tanya diri kita. Siapakah kita berbanding mereka yang penuh berjasa dan memberi sumbangan bakti kepada generasi Islam sehingga ke hari ini…..

Semoga kita turut jua bersama mereka, di atas kecintaan kita kepada para ulama ini. Amin ya Rabb!

Sejarah Singkat Imam Syafi'i

User Rating: / 17
PoorBest 

Nama dan Nasab

Beliau bernama Muhammad dengan kun-yah Abu Abdillah. Nasab beliau secara lengkap adalah Muhammad bin Idris bin al-‘Abbas bin ‘Utsman bin Syafi‘ bin as-Saib bin ‘Ubayd bin ‘Abdu Zayd bin Hasyim bin al-Muththalib bin ‘Abdu Manaf bin Qushay. Nasab beliau bertemu dengan nasab Rasulullah pada diri ‘Abdu Manaf bin Qushay. Dengan begitu, beliau masih termasuk sanak kandung Rasulullah karena masih terhitung keturunan paman-jauh beliau , yaitu Hasyim bin al-Muththalib.

Bapak beliau, Idris, berasal dari daerah Tibalah (Sebuah daerah di wilayah Tihamah di jalan menuju ke Yaman). Dia seorang yang tidak berpunya. Awalnya dia tinggal di Madinah lalu berpindah dan menetap di ‘Asqalan (Kota tepi pantai di wilayah Palestina) dan akhirnya meninggal dalam keadaan masih muda di sana. Syafi‘, kakek dari kakek beliau, -yang namanya menjadi sumber penisbatan beliau (Syafi‘i)- menurut sebagian ulama adalah seorang sahabat shigar (yunior) Nabi. As-Saib, bapak Syafi‘, sendiri termasuk sahabat kibar (senior) yang memiliki kemiripan fisik dengan Rasulullah saw. Dia termasuk dalam barisan tokoh musyrikin Quraysy dalam Perang Badar. Ketika itu dia tertawan lalu menebus sendiri dirinya dan menyatakan masuk Islam.

Para ahli sejarah dan ulama nasab serta ahli hadits bersepakat bahwa Imam Syafi‘i berasal dari keturunan Arab murni. Imam Bukhari dan Imam Muslim telah memberi kesaksian mereka akan kevalidan nasabnya tersebut dan ketersambungannya dengan nasab Nabi, kemudian mereka membantah pendapat-pendapat sekelompok orang dari kalangan Malikiyah dan Hanafiyah yang menyatakan bahwa Imam Syafi‘i bukanlah asli keturunan Quraysy secara nasab, tetapi hanya keturunan secara wala’ saja.

Adapun ibu beliau, terdapat perbedaan pendapat tentang jati dirinya. Beberapa pendapat mengatakan dia masih keturunan al-Hasan bin ‘Ali bin Abu Thalib, sedangkan yang lain menyebutkan seorang wanita dari kabilah Azadiyah yang memiliki kun-yah Ummu Habibah. Imam an-Nawawi menegaskan bahwa ibu Imam Syafi‘i adalah seorang wanita yang tekun beribadah dan memiliki kecerdasan yang tinggi. Dia seorang yang faqih dalam urusan agama dan memiliki kemampuan melakukan istinbath.


Waktu dan Tempat Kelahirannya

Beliau dilahirkan pada tahun 150H. Pada tahun itu pula, Abu Hanifah wafat sehingga dikomentari oleh al-Hakim sebagai isyarat bahwa beliau adalah pengganti Abu Hanifah dalam bidang yang ditekuninya.

Tentang tempat kelahirannya, banyak riwayat yang menyebutkan beberapa tempat yang berbeda. Akan tetapi, yang termasyhur dan disepakati oleh ahli sejarah adalah kota Ghazzah (Sebuah kota yang terletak di perbatasan wilayah Syam ke arah Mesir. Tepatnya di sebelah Selatan Palestina. Jaraknya dengan kota Asqalan sekitar dua farsakh). Tempat lain yang disebut-sebut adalah kota Asqalan dan Yaman.

Ibnu Hajar memberikan penjelasan bahwa riwayat-riwayat tersebut dapat digabungkan dengan dikatakan bahwa beliau dilahirkan di sebuah tempat bernama Ghazzah di wilayah Asqalan. Ketika berumur dua tahun, beliau dibawa ibunya ke negeri Hijaz dan berbaur dengan penduduk negeri itu yang keturunan Yaman karena sang ibu berasal dari kabilah Azdiyah (dari Yaman). Lalu ketika berumur 10 tahun, beliau dibawa ke Mekkah, karena sang ibu khawatir nasabnya yang mulia lenyap dan terlupakan.



Pertumbuhannya dan Pengembaraannya Mencari Ilmu

Di Mekkah, Imam Syafi ‘i dan ibunya tinggal di dekat Syi‘bu al-Khaif. Di sana, sang ibu mengirimnya belajar kepada seorang guru. Sebenarnya ibunya tidak mampu untuk membiayainya, tetapi sang guru ternyata rela tidak dibayar setelah melihat kecerdasan dan kecepatannya dalam menghafal. Imam Syafi‘i bercerita, “Di al-Kuttab (sekolah tempat menghafal Alquran), saya melihat guru yang mengajar di situ membacakan murid-muridnya ayat Alquran, maka aku ikut menghafalnya. Sampai ketika saya menghafal semua yang dia diktekan, dia berkata kepadaku, “Tidak halal bagiku mengambil upah sedikitpun darimu.” Dan ternyata kemudian dengan segera guru itu mengangkatnya sebagai penggantinya (mengawasi murid-murid lain) jika dia tidak ada. Demikianlah, belum lagi menginjak usia baligh, beliau telah berubah menjadi seorang guru.

Setelah rampung menghafal Alquran di al-Kuttab, beliau kemudian beralih ke Masjidil Haram untuk menghadiri majelis-majelis ilmu di sana. Sekalipun hidup dalam kemiskinan, beliau tidak berputus asa dalam menimba ilmu. Beliau mengumpulkan pecahan tembikar, potongan kulit, pelepah kurma, dan tulang unta untuk dipakai menulis. Sampai-sampai tempayan-tempayan milik ibunya penuh dengan tulang-tulang, pecahan tembikar, dan pelepah kurma yang telah bertuliskan hadits-hadits Nabi. Dan itu terjadi pada saat beliau belum lagi berusia baligh. Sampai dikatakan bahwa beliau telah menghafal Alquran pada saat berusia 7 tahun, lalu membaca dan menghafal kitab Al-Muwaththa’ karya Imam Malik pada usia 12 tahun sebelum beliau berjumpa langsung dengan Imam Malik di Madinah.

Beliau juga tertarik mempelajari ilmu bahasa Arab dan syair-syairnya. Beliau memutuskan untuk tinggal di daerah pedalaman bersama suku Hudzail yang telah terkenal kefasihan dan kemurnian bahasanya, serta syair-syair mereka. Hasilnya, sekembalinya dari sana beliau telah berhasil menguasai kefasihan mereka dan menghafal seluruh syair mereka, serta mengetahui nasab orang-orang Arab, suatu hal yang kemudian banyak dipuji oleh ahli-ahli bahasa Arab yang pernah berjumpa dengannya dan yang hidup sesudahnya. Namun, takdir Allah telah menentukan jalan lain baginya. Setelah mendapatkan nasehat dari dua orang ulama, yaitu Muslim bin Khalid az-Zanji -mufti kota Mekkah-, dan al-Husain bin ‘Ali bin Yazid agar mendalami ilmu fiqih, maka beliau pun tersentuh untuk mendalaminya dan mulailah beliau melakukan pengembaraannya mencari ilmu.

Beliau mengawalinya dengan menimbanya dari ulama-ulama kotanya, Mekkah, seperti Muslim bin Khalid, Dawud bin Abdurrahman al-‘Athar, Muhammad bin Ali bin Syafi’ –yang masih terhitung paman jauhnya-, Sufyan bin ‘Uyainah –ahli hadits Mekkah-, Abdurrahman bin Abu Bakar al-Maliki, Sa’id bin Salim, Fudhail bin ‘Iyadh, dan lain-lain. Di Mekkah ini, beliau mempelajari ilmu fiqih, hadits, lughoh, dan Muwaththa’ Imam Malik. Di samping itu beliau juga mempelajari keterampilan memanah dan menunggang kuda sampai menjadi mahir sebagai realisasi pemahamannya terhadap ayat 60 surat Al-Anfal. Bahkan dikatakan bahwa dari 10 panah yang dilepasnya, 9 di antaranya pasti mengena sasaran.

Setelah mendapat izin dari para syaikh-nya untuk berfatwa, timbul keinginannya untuk mengembara ke Madinah, Dar as-Sunnah, untuk mengambil ilmu dari para ulamanya. Terlebih lagi di sana ada Imam Malik bin Anas, penyusun al-Muwaththa’. Maka berangkatlah beliau ke sana menemui sang Imam. Di hadapan Imam Malik, beliau membaca al-Muwaththa’ yang telah dihafalnya di Mekkah, dan hafalannya itu membuat Imam Malik kagum kepadanya. Beliau menjalani mulazamah kepada Imam Malik demi mengambil ilmu darinya sampai sang Imam wafat pada tahun 179. Di samping Imam Malik, beliau juga mengambil ilmu dari ulama Madinah lainnya seperti Ibrahim bin Abu Yahya, ‘Abdul ‘Aziz ad-Darawardi, Athaf bin Khalid, Isma‘il bin Ja‘far, Ibrahim bin Sa‘d dan masih banyak lagi.

Setelah kembali ke Mekkah, beliau kemudian melanjutkan mencari ilmu ke Yaman. Di sana beliau mengambil ilmu dari Mutharrif bin Mazin dan Hisyam bin Yusuf al-Qadhi, serta yang lain. Namun, berawal dari Yaman inilah beliau mendapat cobaan –satu hal yang selalu dihadapi oleh para ulama, sebelum maupun sesudah beliau-. Di Yaman, nama beliau menjadi tenar karena sejumlah kegiatan dan kegigihannya menegakkan keadilan, dan ketenarannya itu sampai juga ke telinga penduduk Mekkah. Lalu, orang-orang yang tidak senang kepadanya akibat kegiatannya tadi mengadukannya kepada Khalifah Harun ar-Rasyid, Mereka menuduhnya hendak mengobarkan pemberontakan bersama orang-orang dari kalangan Alawiyah.

Sebagaimana dalam sejarah, Imam Syafi‘i hidup pada masa-masa awal pemerintahan Bani ‘Abbasiyah yang berhasil merebut kekuasaan dari Bani Umayyah. Pada masa itu, setiap khalifah dari Bani ‘Abbasiyah hampir selalu menghadapi pemberontakan orang-orang dari kalangan ‘Alawiyah. Kenyataan ini membuat mereka bersikap sangat kejam dalam memadamkan pemberontakan orang-orang ‘Alawiyah yang sebenarnya masih saudara mereka sebagai sesama Bani Hasyim. Dan hal itu menggoreskan rasa sedih yang mendalam pada kaum muslimin secara umum dan pada diri Imam Syafi‘i secara khusus. Dia melihat orang-orang dari Ahlu Bait Nabi menghadapi musibah yang mengenaskan dari penguasa. Maka berbeda dengan sikap ahli fiqih selainnya, beliau pun menampakkan secara terang-terangan rasa cintanya kepada mereka tanpa rasa takut sedikitpun, suatu sikap yang saat itu akan membuat pemiliknya merasakan kehidupan yang sangat sulit.

Sikapnya itu membuatnya dituduh sebagai orang yang bersikap tasyayyu‘, padahal sikapnya sama sekali berbeda dengan tasysyu’ model orang-orang syi‘ah. Bahkan Imam Syafi‘i menolak keras sikap tasysyu’ model mereka itu yang meyakini ketidakabsahan keimaman Abu Bakar, Umar, serta ‘Utsman , dan hanya meyakini keimaman Ali, serta meyakini kemaksuman para imam mereka. Sedangkan kecintaan beliau kepada Ahlu Bait adalah kecintaan yang didasari oleh perintah-perintah yang terdapat dalam Alquran maupun hadits-hadits shahih. Dan kecintaan beliau itu ternyata tidaklah lantas membuatnya dianggap oleh orang-orang syiah sebagai ahli fiqih madzhab mereka.

Tuduhan dusta yang diarahkan kepadanya bahwa dia hendak mengobarkan pemberontakan, membuatnya ditangkap, lalu digelandang ke Baghdad dalam keadaan dibelenggu dengan rantai bersama sejumlah orang-orang ‘Alawiyah. Beliau bersama orang-orang ‘Alawiyah itu dihadapkan ke hadapan Khalifah Harun ar-Rasyid. Khalifah menyuruh bawahannya menyiapkan pedang dan hamparan kulit. Setelah memeriksa mereka seorang demi seorang, ia menyuruh pegawainya memenggal kepala mereka. Ketika sampai pada gilirannya, Imam Syafi‘i berusaha memberikan penjelasan kepada Khalifah. Dengan kecerdasan dan ketenangannya serta pembelaan dari Muhammad bin al-Hasan -ahli fiqih Irak-, beliau berhasil meyakinkan Khalifah tentang ketidakbenaran apa yang dituduhkan kepadanya. Akhirnya beliau meninggalkan majelis Harun ar-Rasyid dalam keadaan bersih dari tuduhan bersekongkol dengan ‘Alawiyah dan mendapatkan kesempatan untuk tinggal di Baghdad.

Di Baghdad, beliau kembali pada kegiatan asalnya, mencari ilmu. Beliau meneliti dan mendalami madzhab Ahlu Ra’yu. Untuk itu beliau berguru dengan mulazamah kepada Muhammad bin al-Hassan. Selain itu, kepada Isma‘il bin ‘Ulayyah dan Abdul Wahhab ats-Tsaqafiy dan lain-lain. Setelah meraih ilmu dari para ulama Irak itu, beliau kembali ke Mekkah pada saat namanya mulai dikenal. Maka mulailah ia mengajar di tempat dahulu ia belajar. Ketika musim haji tiba, ribuan jamaah haji berdatangan ke Mekkah. Mereka yang telah mendengar nama beliau dan ilmunya yang mengagumkan, bersemangat mengikuti pengajarannya sampai akhirnya nama beliau makin dikenal luas. Salah satu di antara mereka adalah Imam Ahmad bin Hanbal.

Ketika kamasyhurannya sampai ke kota Baghdad, Imam Abdurrahman bin Mahdi mengirim surat kepada Imam Syafi‘i memintanya untuk menulis sebuah kitab yang berisi khabar-khabar yang maqbul, penjelasan tentang nasikh dan mansukh dari ayat-ayat Alquran dan lain-lain. Maka beliau pun menulis kitabnya yang terkenal, Ar-Risalah.

Setelah lebih dari 9 tahun mengajar di Mekkah, beliau kembali melakukan perjalanan ke Irak untuk kedua kalinya dalam rangka menolong madzhab Ash-habul Hadits di sana. Beliau mendapat sambutan meriah di Baghdad karena para ulama besar di sana telah menyebut-nyebut namanya. Dengan kedatangannya, kelompok Ash-habul Hadits merasa mendapat angin segar karena sebelumnya mereka merasa didominasi oleh Ahlu Ra’yi. Sampai-sampai dikatakan bahwa ketika beliau datang ke Baghdad, di Masjid Jami ‘ al-Gharbi terdapat sekitar 20 halaqah Ahlu Ra ‘yu. Tetapi ketika hari Jumat tiba, yang tersisa hanya 2 atau 3 halaqah saja.

Beliau menetap di Irak selama dua tahun, kemudian pada tahun 197 beliau balik ke Mekkah. Di sana beliau mulai menyebar madzhabnya sendiri. Maka datanglah para penuntut ilmu kepadanya meneguk dari lautan ilmunya. Tetapi beliau hanya berada setahun di Mekkah.

Tahun 198, beliau berangkat lagi ke Irak. Namun, beliau hanya beberapa bulan saja di sana karena telah terjadi perubahan politik. Khalifah al-Makmun telah dikuasai oleh para ulama ahli kalam, dan terjebak dalam pembahasan-pembahasan tentang ilmu kalam. Sementara Imam Syafi‘i adalah orang yang paham betul tentang ilmu kalam. Beliau tahu bagaimana pertentangan ilmu ini dengan manhaj as-salaf ash-shaleh –yang selama ini dipegangnya- di dalam memahami masalah-masalah syariat. Hal itu karena orang-orang ahli kalam menjadikan akal sebagai patokan utama dalam menghadapi setiap masalah, menjadikannya rujukan dalam memahami syariat padahal mereka tahu bahwa akal juga memiliki keterbatasan-keterbatasan. Beliau tahu betul kebencian meraka kepada ulama ahlu hadits. Karena itulah beliau menolak madzhab mereka.

Dan begitulah kenyataannya. Provokasi mereka membuat Khalifah mendatangkan banyak musibah kepada para ulama ahlu hadits. Salah satunya adalah yang dikenal sebagai Yaumul Mihnah, ketika dia mengumpulkan para ulama untuk menguji dan memaksa mereka menerima paham Alquran itu makhluk. Akibatnya, banyak ulama yang masuk penjara, bila tidak dibunuh. Salah satu di antaranya adalah Imam Ahmad bin Hanbal. Karena perubahan itulah, Imam Syafi‘i kemudian memutuskan pergi ke Mesir. Sebenarnya hati kecilnya menolak pergi ke sana, tetapi akhirnya ia menyerahkan dirinya kepada kehendak Allah. Di Mesir, beliau mendapat sambutan masyarakatnya. Di sana beliau berdakwah, menebar ilmunya, dan menulis sejumlah kitab, termasuk merevisi kitabnya ar-Risalah, sampai akhirnya beliau menemui akhir kehidupannya di sana.



Keteguhannya Membela Sunnah

Sebagai seorang yang mengikuti manhaj Ash-habul Hadits, beliau dalam menetapkan suatu masalah terutama masalah aqidah selalu menjadikan Alquran dan Sunnah Nabi sebagai landasan dan sumber hukumnya. Beliau selalu menyebutkan dalil-dalil dari keduanya dan menjadikannya hujjah dalam menghadapi penentangnya, terutama dari kalangan ahli kalam. Beliau berkata, “Jika kalian telah mendapatkan Sunnah Nabi, maka ikutilah dan janganlah kalian berpaling mengambil pendapat yang lain.” Karena komitmennya mengikuti sunnah dan membelanya itu, beliau mendapat gelar Nashir as-Sunnah wa al-Hadits.

Terdapat banyak atsar tentang ketidaksukaan beliau kepada Ahli Ilmu Kalam, mengingat perbedaan manhaj beliau dengan mereka. Beliau berkata, “Setiap orang yang berbicara (mutakallim) dengan bersumber dari Alquran dan sunnah, maka ucapannya adalah benar, tetapi jika dari selain keduanya, maka ucapannya hanyalah igauan belaka.” Imam Ahmad berkata, “Bagi Syafi‘i jika telah yakin dengan keshahihan sebuah hadits, maka dia akan menyampaikannya. Dan prilaku yang terbaik adalah dia tidak tertarik sama sekali dengan ilmu kalam, dan lebih tertarik kepada fiqih.” Imam Syafi ‘i berkata, “Tidak ada yang lebih aku benci daripada ilmu kalam dan ahlinya” Al-Mazani berkata, “Merupakan madzhab Imam Syafi‘i membenci kesibukan dalam ilmu kalam. Beliau melarang kami sibuk dalam ilmu kalam.”

Ketidaksukaan beliau sampai pada tingkat memberi fatwa bahwa hukum bagi ahli ilmu kalam adalah dipukul dengan pelepah kurma, lalu dinaikkan ke atas punggung unta dan digiring berkeliling di antara kabilah-kabilah dengan mengumumkan bahwa itu adalah hukuman bagi orang yang meninggalkan Alquran dan Sunnah dan memilih ilmu kalam.



Wafatnya

Karena kesibukannya berdakwah dan menebar ilmu, beliau menderita penyakit bawasir yang selalu mengeluarkan darah. Makin lama penyakitnya itu bertambah parah hingga akhirnya beliau wafat karenanya. Beliau wafat pada malam Jumat setelah shalat Isya’ hari terakhir bulan Rajab permulaan tahun 204 dalam usia 54 tahun. Semoga Allah memberikan kepadanya rahmat-Nya yang luas.

Ar-Rabi menyampaikan bahwa dia bermimpi melihat Imam Syafi‘i, sesudah wafatnya. Dia berkata kepada beliau, “Apa yang telah diperbuat Allah kepadamu, wahai Abu Abdillah ?” Beliau menjawab, “Allah mendudukkan aku di atas sebuah kursi emas dan menaburkan pada diriku mutiara-mutiara yang halus”



Karangan-Karangannya

Sekalipun beliau hanya hidup selama setengah abad dan kesibukannya melakukan perjalanan jauh untuk mencari ilmu, hal itu tidaklah menghalanginya untuk menulis banyak kitab. Jumlahnya menurut Ibnu Zulaq mencapai 200 bagian, sedangkan menurut al-Marwaziy mencapai 113 kitab tentang tafsir, fiqih, adab dan lain-lain. Yaqut al-Hamawi mengatakan jumlahnya mencapai 174 kitab yang judul-judulnya disebutkan oleh Ibnu an-Nadim dalam al-Fahrasat.
Yang paling terkenal di antara kitab-kitabnya adalah al-Umm, yang terdiri dari 4 jilid berisi 128 masalah, dan ar-Risalah al-Jadidah (yang telah direvisinya) mengenai Alquran dan As-Sunnah serta kedudukannya dalam syariat.


Sumber :
1. Al-Umm, bagian muqoddimah hal 3-33.
2. Siyar A‘lam an-Nubala’
3. Manhaj Aqidah Imam asy-Syafi‘, terjemah kitab Manhaj al-Imam Asy-Syafi ‘i fi Itsbat al-‘Aqidah karya DR. Muhammad AW al-Aql terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi‘i, Cirebon.


Sumber: http://muslim.or.id/?p=9

Siapa Para Ulama?

User Rating: / 10
PoorBest 

Oleh: Ustadz Qomar Suaidi
Sumber : http://asysyariah.com/


Mungkin muncul pertanyaan, siapakah ulama itu? Hingga kini banyak perbedaan dalam menilai siapa ulama. Sehingga perlu dijelaskan siapa hakekat para ulama itu.

Untuk itu kita akan merujuk kepada penjelasan para ulama Salafus Shaleh dan orang-orang yang menelusuri jalan mereka. Kata ulama itu sendiri merupakan bentuk jamak dari kata ‘alim, yang artinya orang berilmu. Untuk mengetahui siapa ulama, kita perlu mengetahui apa yang dimaksud dengan ilmu dalam istilah syariat, karena kata ilmu dalam bahasa yang berlaku sudah sangat meluas. Adapun makna ilmu dalam syariat lebih khusus yaitu mengetahui kandungan Al Qur’anul Karim, Sunnah Nabawiyah dan ucapan para shahabat dalam menafsiri keduanya dengan mengamalkannya dan menimbulkan khasyah (takut) kepada Allah.

Imam Syafi’i berkata: “Seluruh ilmu selain Al Qur’an adalah hal yang menyibukkan kecuali hadits dan fiqh dan memahami agama. Ilmu adalah yang terdapat padanya haddatsana (telah mengkabarkan kepada kami - yakni ilmu hadits) dan selain dari padanya adalah bisikan-bisikan setan.”

Ibnu Qoyyim menyatakan: “Ilmu adalah berkata Allah, berkata Rasul-Nya, berkata para shahabat yang tiada menyelisihi akal sehat padanya.” (Al Haqidatusy-Syar’iyah: 119-120)

Dari penjelasan makna ilmu dalam syariat, maka orang alim atau ulama adalah orang yang menguasai ilmu tersebut serta mengamalkannya dan menumbuhkan rasa takut kepada Allah Subhanahuwata'ala . Oleh karenanya dahulu sebagian ulama menyatakan ulama adalah orang yang mengetahui Allah Subhanahuwata'ala dan mengetahui perintah-Nya. Ia adalah orang yang takut kepada Allah Subhanahuwata'ala dan mengetahui batasan-batasan syariat-Nya serta kewajiban-kewajiban-Nya. Rabi’ bin Anas menyatakan “Barangsiapa yang tidak takut kepada Allah bukanlah seorang ulama.”

Allah berfirman: “Sesungguhnya yang takut kepada Allah hanyalah ulama .” (Fathir: 29)

Kesimpulannya, orang-orang yang pantas menjadi rujukan dalam masalah ini adalah yang berilmu tentang kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya serta ucapan para shahabat. Dialah yang berhak berijtihad dalam hal-hal yang baru. (Ibnu Qoyyim, I’lam Muwaqqi’in 4/21, Madarikun Nadhar 155)

Ibnu Majisyun, salah seorang murid Imam Malik mengatakan: “Dahulu (para ulama) menyatakan, ‘Tidaklah seorang itu menjadi Imam dalam hal fiqh sehingga menjadi imam dalam hal Al Qur’an dan Hadits dan tidak menjadi imam dalam hal hadits sehingga menjadi imam dalam hal fiqh.” (Jami’ Bayanil ‘Ilm: 2/818)

Imam Syafi’i menyatakan: “Jika datang sebuah perkara yang musykil (rumit) jangan mengajak musyawarah kecuali orang yang terpercaya dan berilmu tentang al Kitab dan Sunnah, ucapan para shahabat, pendapat para ulama’, qiyas dan bahasa Arab. (Jami’ Bayanil ‘Ilm: 2/818)

Merekalah ulama yang hakiki, bukan sekedar pemikir harakah, mubaligh penceramah, aktivis gerakan dakwah, ahli membaca kitabullah, ahli taqlid dalam madzhab fiqh, dan ulama shu’ (jahat), atau ahlu bid’ah. Tapi ulama hakiki yang istiqamah di atas Sunnah.
Wallahu a’lam ?

You are here: Artikel View Tokoh